Untuk pertama kalinya aku membiarkan diriku merasakan semuanya tanpa menolak. Aku menangis, marah, bingung, kecewa tapi bukan lagi dari posisi korban. Tapi tubuhku memberi tahu:
"Akhirnya kamu berani melihat."
Ada luka-luka yang kita kira sudah sembuh hanya karena kita tidak menyentuhnya lagi. Kita menutupnya rapat, menguburnya di bawah kesibukan, hubungan baru, atau alasan-alasan “aku sudah baik-baik saja”.
Sampai suatu hari, sebuah peristiwa kecil atau seseorang membuka kembali jahitannya.
Bagiku, itu terjadi ketika orang-orang yang palingku hormati dan ku anggap tidak akan melakukan itu, justru terhubung… terlalu cepat, terlalu dekat, terlalu dalam.
Seolah semesta memutuskan: “Sudah waktunya kamu melihat apa yang belum kamu selesaikan.”
Jujur, rasanya seperti ditampar dari dua arah.
Orang yang dulu paling dekat denganku, dan orang yang seharusnya mengerti batas moral.
Keduanya berdiri di titik yang justru membuatku merasa paling tidak terlihat.
Saat itu aku merasa:
dihina, dipinggirkan, dikhianati.
Dan bukan hanya oleh kejadian itu tapi oleh seluruh sejarah emosionalku yang selama ini kuabaikan.
Tapi begini kusadari akhirnya… kadang hidup memang perlu menampar keras supaya kita terbangun.
Rasa sakit itu membuka mata.
Ia memaksa aku melihat bagian diriku yang selama ini bersembunyi:
ketakutan ditinggalkan, rasa tidak cukup, keyakinan keliru tentang nilai diri, dan kebiasaan menempatkan orang lain di atas diriku.
Kemarahan yang muncul waktu itu bukan tanda bahwa aku jahat atau penuh dendam.
Itu tanda bahwa ada versi diriku yang lebih kuat sedang memukul pintu dari dalam dan berkata:
"Hei, ini batasmu. Jangan biarkan orang lain melangkahinya lagi."
Untuk pertama kalinya aku membiarkan diriku merasakan semuanya tanpa menolak. Aku menangis, marah, bingung, kecewa tapi bukan lagi dari posisi korban. Ini lebih seperti tubuhku memberi tahu:
"Akhirnya kamu berani melihat."
Dan dari situ, perlahan-lahan mulai jelas:
Yang terjadi bukan tentang aku kurang berharga. Bukan karena aku kalah. Bukan juga karena aku tertinggal.
Yang terjadi adalah dua orang yang sedang berada pada fase emosional tertentu membuat keputusan dari ruang kosong dalam diri mereka.
Keputusan yang tidak menilai moral jangka panjang, hanya mengisi rasa haus mereka sendiri.
Di titik itu, aku mulai paham:
kadang pengkhianatan adalah cara paling cepat semesta mengantarmu ke kesadaran baru.
Ia memaksa jiwamu naik kelas, meski kelas itu dimulai dari bangku yang paling tidak nyaman.
Dan ironisnya… aku bersyukur dipukul sekeras itu.
Tanpa itu, mungkin aku tidak akan pernah benar-benar melihat diriku.

Komentar
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir, tinggalkan komentar jika ada yang ingin kamu bagi. Aku membaca semuanya...